MUKADDIMAH
Haji adalah rukun Islam kelima
dan tidak wajib dilaksanakan kecuali terhadap orang yang sudah memenuhi
syaratnya, yaitu memiliki kemampuan (al-Istithaa-'ah) sebagaimana firman Allah
Ta'ala: "…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…" . (Q.S. ali
'Imran/3: 97).
Berkaitan dengan ayat tersebut,
terdapat beberapa poin: Pertama, berdasarkan ayat tersebut, para ulama secara
ijma' sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Kedua, mereka juga
secara ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya diwajibkan selama sekali
seumur hidup. Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur ulama sebagai dalil
wajibnya haji. Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya haji
bagi orang yang sudah mampu, namun mereka berbeda mengenai penafsiran as-Sabiil
(mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut.
Mengenai poin terakhir ini,
maka kemampuan yang terdapat dalam ayat diatas ada beberapa macam: terkadang
seseorang mampu melakukannya dengan dirinya sendiri, terkadang pula mampu
melakukannya dengan perantaraan orang lain sebagaimana yang telah menjadi
ketetapan di dalam kitab-kitab al-Ahkam (tentang hukum-hukum).
Sedangkan mengenai makna
as-Sabiil, terdapat beberapa penafsiran, yaitu:
• Az-Zaad wa ar-Raahilah (bekal dan kendaraan); riwayat dari
Ibnu 'Umar, Anas, Ibnu 'Abbas
• Memiliki uang sebesar 300 dirham; riwayat lain dari Ibnu
'Abbas
• Az-Zaad wa al-Ba'iir (bekal dan keledai); riwayat lain
dari Ibnu 'Abbas
• Kesehatan jasmani ; riwayat dari 'Ikrimah
Merujuk kepada penafsiran
diatas, setidaknya dapat disimpulkan satu kesamaan, yaitu adanya kemampuan
untuk mengadakan perjalanan dalam melaksanakannya sedangkan bagi yang tidak
memiliki persyaratan itu; maka tidak wajib baginya melakukan haji.
Namun, bila melihat fenomena
yang ada di masyarakat, nampaknya mereka kurang memahami hal ini sehingga ada
sebagian dari mereka yang memaksakan diri untuk melakukan haji meskipun harus
menjual semua harta bendanya alias sepulangnya dari haji nanti dia sudah tidak
memiliki apa-apa lagi.
Fenomena lainnya, nampaknya ada
semacam kultur di kalangan masyarakat tertentu yang seakan mewajibkan
masyarakat tersebut melakukan haji apalagi bila sudah berusia lanjut dan
menanamkan kepada mereka yang berusia lanjut tersebut bahwa bila mereka sudah
melakukan haji dan meninggal di sana, mereka akan masuk surga. Hal ini
menyebabkan banyaknya diantara mereka yang enggan pulang ke tanah air dan
dengan segala upaya bertekad akan tinggal dan meninggal disana padahal mereka
sudah tidak memilik bekal yang cukup dan akibat ketatnya ketentuan kependudukan
di sana, mereka selalu diuber-uber dan terancam dipulangkan secara paksa.
Demikian pula (dan tema inilah
yang ingin kami angkat), terdapat pemahaman yang keliru ataupun kejahilan
terhadap pengertian dari haji yang mabrur. Sebagian kalangan menganggap bahwa
siapa saja yang sudah melaksanakan haji, maka haji yang dilaksanakannya sudah
pasti menjadi haji yang mabrur.
Mengingat fenomena yang ada
tersebut, maka urgen sekali menjelaskan pengertian apa hakikat haji yang mabrur
sekaligus balasan yang akan diterimanya.
Dalam kajian hadits bulanan
kali ini, kami akan memaparkan hadits yang berkaitan dengan tema tersebut. Dan
secara khusus, kami berharap dapat memberikan gambaran yang benar mengenai
pengertian tersebut kepada para calon jema'ah haji yang kebetulan membaca
rubrik ini.
Tentunya, dalam pemaparan
tersebut terdapat beberapa kesalahan dan kekurangan di sana sini, untuk itu
bagi para pembaca yang kebetulan menemukan hal itu kiranya berkenan memberikan
taushiah kepada kami sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan pada kajian
selanjutnya.
NASKAH HADITS
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: " 'Umrah -yang satu-
bersama (hingga ke) 'umrah -yang lain- merupakan kaffarat (penghapus dosa) bagi
(dosa yang telah dilakukan) diantara keduanya. Sedangkan haji yang mabrur tidak
ada balasan baginya selain surga ". (H.R. Muslim, no. 2403 dalam kitab
al-Hajj, bab: Fadhl al-Hajj wal 'Umrah wa yaumi 'Arafah )
TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL
Hadits diatas ditakhrij
(dikeluarkan) oleh :
1. Imam at-Turmuzi dalam kitab al-Hajj , no. 855
2. Imam an-Nasai dalam kitab Manaasik al-Hajj, no. 2575, 2576,
2582
3. Imam Ibnu Majah dalam kitab al-Manaasik, no. 2879
4. Imam Ahmad dalam Baaqi Musnad al-Muktsiriin, no. 7050, 9562,
9569
5. Imam Malik dalam kitab al-Hajj, no. 675
6. Imam ad-Darimi dalam kitab al-Manaasik, no. 1727
PEMBAHASAN HADITS
• Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam :
" 'Umrah -yang satu-
bersama (hingga ke) 'umrah -yang lain-merupakan kaffarat (penghapus) bagi (dosa
yang telah dilakukan) diantara keduanya"
Imam an-Nawawi dalam syarahnya
terhadap kitab Shahih Muslim, berkaitan dengan makna penggalan hadits diatas,
berkata: "Disini sangat jelas sekali bahwa yang dimaksud adalah keutamaan
'umrah, yaitu menghapus dosa-dosa yang terjadi antara kedua 'umrah tersebut.
Penjelasan tentang dosa-dosa tersebut telah disinggung pada kitab ath-Thaharah
, demikian pula penjelasan tentang bagaimana menyinkronkannya dengan
hadits-hadits tentang kaffarat wudhu' terhadap dosa-dosa tersebut, kaffarat
semua shalat, puasa pada hari 'Arafah dan 'Asyura' ".
Dalam kitab Tuhfah al-Ahwazi
Syarh Sunan at-Turmuzi, Pensyarahnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
dosa-dosa disini adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar (Kaba-ir ),
sepertihalnya dalam sabda beliau yang berkaitan dengan keutamaan hari Jum'at,
bahwa Jum'at yang satu bersama (hingga ke) Jum'at yang lainnya merupakan
kaffarat (penghapus) dosa yang telah dilakukan diantara keduanya.
Berkaitan dengan hal yang sama,
Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap Sunan Ibni Majah menukil perkataan
Ibnu at-Tin yang menyatakan bahwa huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam: diatas dapat diartikan dengan (Ma-'a/bersama); jadi, maknanya
'Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain… Atau dapat juga diartikan dengan
makna huruf (Ila) itu sendiri dalam kaitannya dengan kaffarat.
Ibnu 'Abd al-Barr mengkhususkan
kaffarat dalam hadits tersebut terhadap dosa-dosa kecil saja, akan tetapi
menurut Syaikh as-Sindy, pendapat ini kurang tepat sebab menjauhi Kaba-ir
(dosa-dosa besar) juga merupakan kaffarat baginya sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Ta'ala: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga) ". (Q.S. an-Nisa'/4 : 31). Karenanya, timbul
pertanyaan: dosa apa yang dapat dihapus oleh 'umrah?. Jawabannya enteng sebab
orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecilnya dihapus
dengan 'umrah sedangkan orang yang tidak memiliki dosa kecil atau dosa-dosa
kecilnya telah dihapus melalui sebab yang lain, maka posisi 'umrah baginya
disini merupakan sebuah keutamaan.
Imam az-Zarqany dalam kitabnya
Syarh Muwaththa' Malik menyatakan bahwa makna huruf (Ila) dalam sabda beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam:
diatas adalah bermakna (Ma-'a);
Dalam hal ini, pengertiannya sejalan dengan firmanNya Ta'ala dalam ayat :
"Dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu" (Q.S. an-Nisa/4:2)
Jadi, maknanya adalah "
'Umrah -yang satu- bersama 'umrah -yang lain- merupakan kaffarat (penghapus)
bagi dosa yang telah dilakukan diantara keduanya ". Huruf ãÇ (Maa) dalam
penggalan hadits tersebut merupakan lafazh yang bersifat umum, maka dari sisi
lafazhnya bermakna penghapusan terhadap semua dosa yang terjadi diantara
keduanya kecuali hal yang sudah dikhususkan oleh dalil tertentu.
Masalah : berapa kali 'umrah
boleh dilakukan?
Para pendukung mazhab
asy-Syafi'i dan Jumhur ulama berpegang kepada hadits ini mengenai dianjurkannya
melakukan 'umrah berkali-kali dalam satu tahun.
Sedangkan Imam Malik dan
sebagian shahabatnya menyatakan bahwa melakukannya lebih dari satu kali adalah
makruh.
Al-Qadhi, ('Iyadh-red) berkata:
'ulama yang lain berkata:" tidak boleh melakukan 'umrah lebih dari satu
kali".
Masalah : Kapan waktu
dibolehkan atau tidak dibolehkannya 'umrah dilakukan?
Imam an-Nawawi berkata:
"Ketahuilah bahwa sebenarnya waktu melakukan 'umrah berlaku sepanjang
tahun. Jadi, shah dilakukan pada setiap waktunya kecuali bagi orang yang sedang
melakukan haji dimana tidak shah 'umrahnya hingga selesai melakukan haji.
Menurut ulama kami (ulama mazhab asy-Syafi'i-red) tidak makruh hukumnya
dilakukan oleh orang yang sedang berhaji baik pada hari 'Arafah, 'Iedul Adhha,
Hari Tasyriq dan seluruh waktu sepanjang tahunnya. Pendapat semacam ini
dikemukakan oleh Imam Malik, Ahmad dan Jumhur Ulama...".
Sedangkan Abu Hanifah
berpendapat bahwa 'umrah tersebut makruh dilakukan pada lima hari; hari
'Arafah, hari an-Nahr (Qurban) dan hari-hari Tasyriq (tiga hari).
Abu Yusuf, shahabat Abu Hanifah
berkata: "Makruh dilakukan pada empat hari; hari 'Arafah dan hari-hari
Tasyriq (tiga hari)".
Masalah : Apakah 'umrah itu
wajib hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat
mengenai wajibnya 'umrah:
o Mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur menyatakan hukumnya wajib.
Demikian pula 'Umar, Ibnu 'Abbas, Thawus, 'Atha', Ibnu al-Musayyab, Sa'id bin
Jubair, al-Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu Sirin, asy-Sya'bi, Abu Burdah bin Abu
Musa al-Asy'ari, 'Abdullah bin Syaddad, ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid
dan Daud.
o Imam Malik, Abu Hanifah dan Abu Tsaur menyatakan hukumnya
sunnah bukan wajib. Pendapat seperti ini dihikayatkan juga dari Imam
an-Nakha'i.
• Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam :
" Sedangkan haji yang
mabrur tidak ada balasan baginya selain surga"
Menurut Imam an-Nawawi dan
Syaikh as-Sindy, pendapat yang paling shahih dan masyhur adalah bahwa makna
Mabrur disini; sesuatu yang tidak terkontaminasi oleh dosa. Yakni diambil dari
kata al-Birr yang maknanya adalah ath-Thaa'ah (keta'atan).
Ada yang berpendapat maknanya
adalah al-Maqbul (haji yang diterima).
Ada lagi pendapat yang
mengatakan bahwa maknanya adalah haji yang tidak dilakukan karena riya'.
Pendapat lainnya lagi; maknanya
adalah haji yang tidak disudahi dengan perbuatan maksiat.
Kedua pendapat terakhir ini
masuk dalam kategori makna sebelumnya.
Imam al-'Iyni berkata -
mengenai makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam:' Haji yang mabrur' -
; " berkata Ibnu Khalawaih: al-Mabrur artinya al-Maqbul (yang diterima).
Berkata selain beliau: ' (maknanya adalah) Haji yang tidak terkontaminasi oleh
sesuatu dosa. Pendapat ini didukung oleh Imam an-Nawawi..".
Imam al-Qurthubi berkata:
"pendapat-pendapat seputar penafsirannya hampir mendekati maknanya satu
sama lain, yaitu haji yang dilaksanakan tersebut memenuhi hukum-hukum yang
berkaitan dengannya dan manakala dituntut dari seorang Mukallaf (orang yang
dibebani perintah syara') agar melakukannya secara sempurna, hajinya tersebut
kemudian menempati posisi tertentu".
Dalam syarahnya terhadap kitab
Muwaththa Malik, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa makna sabda beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam : "dan haji yang mabrur" ; dapat berarti
bahwa orang yang melakukan haji tersebut mengimplementasikan perbuatannya
setelah itu ke jalan kebajikan (karena kata Mabrur diambil dari kata al-Birr
yang artinya kebajikan-red).
Sedangkan makna sabda beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam: "tidak ada balasan baginya selain
surga" ; menurut Imam an-Nawawi adalah bahwa balasan bagi orang yang
melakukannya tidak hanya sebatas terhapusnya sebagian dosa-dosanya akan tetapi
dia pasti masuk surga. Wallaahu a'lam ".
Selanjutnya, Imam az-Zarqany
menyatakan bahwa Rasulullah menyebutkan dan menjanjikan bahwa tidak ada balasan
bagi orang yang hajinya mabrur selain surga, dan menegaskan bahwa yang selain
itu (surga) bukan merupakan balasannya meskipun balasan dari 'umrah dan
perbuatan-perbuatan kebajikan lainnya adalah terhapusnya dosa-dosa dan
kesalahan; hal itu, lantaran balasan bagi pelakunya itu hanya berupa
penghapusan terhadap sebagian dosa-dosanya saja. Oleh sebab itu, hal tersebut
pasti menggiringnya masuk ke dalam surga.
Syaikh as-Sindy berkata,
berkaitan dengan pengecualian dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam :
"..selain surga" : "bahwa pengecualian ini maksudnya adalah dari
sisi prinsipnya saja sebab bila tidak, sebenarnya syarat masuk ke surga itu
cukup dengan iman. Jadi, konsekuensinya adalah diampuninya seluruh dosa-dosanya
baik dosa-dosa kecil ataupun dosa-dosa besarnya bahkan yang terdahulu dan yang
akan datang".
Tanda-Tanda diterimanya haji
(haji yang mabrur)
Imam an-Nawawi berkata:
"Diantara tanda-tanda diterimanya adalah bahwa sepulangnya dari haji,
orang tersebut menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya dan tidak mengulangi
lagi perbuatan-perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya". Hal senada
juga diungkapkan oleh Imam Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap hadits ini.
Bahan bacaan:
1. Al-Mu'jam al-Mufahris Li alfaazh al-Qur'an al-Karim karya
Muhammad Fuad 'Abdul Baqi
2. Kitab Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya Ibnu Katsir
3. Kitab Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi
4. Kitab Tuhfatul Ahwazi Syarh Sunan at-Turmuzi karya Syaikh
'Abdul 'Azhim al-Mubarakfury
5. Kitab Syarh Sunan Ibni Majah karya Syaikh as-Sindy
6. Kitab al-Muntaqa Syarh Muwaththa' Malik karya Imam
az-Zarqany
Tidak ada komentar:
Posting Komentar